Kamis, 23 Januari 2020

Victim Blaming

Topik kali ini agak gak enak, Guys. Gue mau bahas soal victim blaming terutama pelecehan atau kekerasan seksual yang sering dilakukan di tengah masyakarat Indonesia dengan budaya so-called ketimuran ini.

Gue sangat bersyukur ga pernah mengalami pelecehan yang parah. Tapi di tempat kerja gue yang lama, gue sering di cat-calling alias disiulin cowok ga dikenal. Menurut gue itu sangat mengganggu dan ga jelas buat apa. Emang cewek jadi mau nikah sama situ kalau disiulin?
Nah setelah itu, karena gue juga bingung mau apa tapi ngerasa super keganggu disiulin, gue aduin aja ke HRD soal kejadian itu.
Tau gak respon pertama HRD-nya apa waktu gue lapor?
"Hah kok bisa ya? Apa pakaian Ibu Noi mengundang yah?"

WHAT THE

Gue selalu memakai pakaian sesuai aturan perusahaan, kemeja lengan panjang dan celana panjang. Dan kemejanya juga gak ketat atau tipis, bener-bener kemeja polos biasa.
Apa gue harus pake baju Batman gitu biar gak mengundang?

Kebiasaan masyarakat sini tuh gitu, yang melecehkan siapa, yang disalahkan korbannya. Tragis.

Nih camkan, pelecehan tuh bukan gara-gara pakaian korbannya, dan jangan salahkan korbannya.
Ini adalah beberapa point yang perlu dipikirkan:

1. Cowok pun bisa jadi korban pelecehan seksual, seperti berita yang baru kita denger soal Reinhard Sinaga memperkosa ratusan cowok umur 20an. Menurut kamu, apakah salah cowok-cowok tersebut makanya mereka dilecehkan? Cowok-cowok itu mengundang? Pakaiannya mengumbar keseksian? Kan nggak. Masih mau menyalahkan pakaian korban?

2. Gue sering denger orang ngomong,"Kalau gamau dilecehin, jangan mengundang!"
Dengan logika yang sama, bisa dibilang,
"Kalau gamau diintip, ya jangan mandi!"
"Kalau gamau dirampok, jangan punya duit!"
"Kalau gamau dibunuh, ya jangan lahir!"
Please, ga ada orang yang mengundang untuk dilecehkan, dirampok, atau dibunuh, walau bagaimanapun keadaan orang tersebut, atau pakaian apapun yang dikenakannya.
Kebiasaan menyalahkan korban bikin manusia-manusia di luar sana mudah membenarkan tindakan mendzolimi orang, Guys. Bayangin kalau elo dirampok terus rampoknya ngomong,"Ya kalau gamau gue rampok jangan punya duit! Kamu yang mengundang saya buat merampok kamu."

3. Gue punya kenalan suami istri, yang mana suaminya minta cerai karena istrinya 'memperkosa' dia. Intinya istrinya memaksa suami melakukan hal-hal yang tidak disukai lelaki pada umumnya...
Apakah masih mau menyalahkan korban (si suami)? Apa itu terjadi gara-gara suaminya yang mengundang? Kan nggak.



Nah gue sebagai wanita mencoba melihat dari sudut pandang lelaki.
Kalau gue adalah lelaki, dan semua wanita sekitar gue semua memakai pakaian super tertutup agar gue ga melecehkan mereka, gue akan introspeksi dan malu pada diri gue sendiri, apakah di mata mereka gue (lelaki) adalah binatang buas yang ga punya kemampuan mengendalikan nafsu, sampai-sampai mereka harus melindungi diri mereka dari gue? Apakah gue semacam virus atau bakteri, sehingga cewek harus menutup tubuh mereka rapat-rapat supaya gue gak menyentuh mereka?
Kalau gue lelaki, gue akan ingin memastikan cewek-cewek sekitar gue ga merasa terancam dengan keberadaan gue sebagai lelaki.
Tapi tentu gak semua cowok punya kesadaran begitu. Masih banyak yang mikir,"Ya kalau cewek pake baju ga tertutup berarti itu minta gue pegang!"

Dan please jangan pake perumpamaan wanita itu kayak permen lolipop, kalau gak dibungkus nanti dihinggapi semut.
Pertama, perempuan bukan permen, perempuan adalah manusia, punya perasaan dan pikiran.
Kedua, lelaki bukan semut yang ga punya akal budi. Kalau manusia bersikap seperti semut yang maen comot begitu liat permen, terus apa bedanya manusia sama binatang? Kok akal budinya gak dipake?

Weis setelah mengetik panjang lebar begini gue baru sadar gue agak emosi sih sama fenomena Victim Blaming. Ngetiknya agak berapi-api.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar